Dunia Bergemuruh, Rusia Panas, AS-Arab Tegang, Korut Ngamuk.
Duta168 – Dunia sedang tidak baik-baik saja. Ketegangan antarnegara kian memuncak sehingga memicu krisis di mana-mana.
Gonjang-ganjing dunia pada tahun ini diawali dengan serangan Rusia ke Ukraina yang memicu perang yang telah berlangsung hingga saat ini. Dampaknya tidak main-main dan langsung menjadi biang kerok krisis ekonomi global.
Ketegangan geopolitik pun tak berhenti di Ukraina, sejumlah negara pun nyatanya ‘ikut-ikutan’ panas. Sebut saja China dan Taiwan, hingga Korea Utara dan Korea Selatan.
Berikut ini sejumlah ketegangan geopolitik antarnegara yang telah memicu sejumlah krisis di dunia, dirangkum CNBC Indonesia, Kamis (20/10/2022).

Rusia Vs Ukraina
Perang Rusia di Ukraina telah memasuki bulan ke-8. Belum ada tanda-tanda ketegangan itu akan mereda dalam waktu dekat.
Rusia mulai menyerang tetangganya Ukraina pada 24 Februari lalu. Negara yang dipimpin Presiden Vladimir Putin itu beranggapan bahwa manuver negara tetangganya itu telah menimbulkan ancaman besar bagi Moskow.
Putin mengaku bahwa rezim penguasa Ukraina yang nasionalis telah melakukan persekusi bagi para warga berbahasa Rusia di wilayah Donbass. Ini juga yang mendorong wilayah-wilayah seperti Donetsk, Luhansk, dan Krimea untuk memisahkan diri dengan Ukraina.
Lalu, Putin berpandangan bahwa niatan Ukraina untuk bergabung kepada aliansi pertahanan pimpinan AS, NATO, juga telah mengancam keamanan negara. Pasalnya, NATO merupakan rival dari Moskow dan Kyiv dapat menggunakan pasal 5 aliansi itu untuk menyerang beberapa wilayah yang telah dikuasai Rusia sejak 2014 lalu seperti Krimea.
Perang ini sendiri memiliki dampak yang cukup besar. Pasalnya negara-negara blok Barat seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) telah menjatuhkan sanksi ekonomi, perdagangan, dan keuangan kepada Rusia yang memiliki peran penting bagi kelancaran rantai pasok global. Negeri Beruang merah itu juga dikenal menjadi pemasok sumber energi dan juga pangan.
Selain itu, Ukraina juga dikenal sebagai lumbung pangan dunia. Negara itu merupakan eksportir besar bagi komoditas pangan biji-bijian seperti gandum.
Alhasil, krisis energi dan pangan melanda dunia. Khusus untuk energi, kenaikan harganya bahkan telah menyebabkan kekacauan di banyak negara. Inflasi pun meroket di mana-mana.
Terbaru, eskalasi ketegangan kedua negara mengarah pada perang nuklir. Putin diyakini tak akan segan-segan meluncurkan senjata nuklir apabila terus didesak mundur oleh pasukan Ukraina.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, juga mengatakan bahwa dengan situasi yang tak dapat ditebak di dalam perang antara Rusia dan Ukraina, dunia telah dibayang-bayangi potensi perang nuklir.
China Vs Taiwan-AS
Ketegangan di Selat Taiwan memuncak pada tahun ini. Ancaman invasi China untuk mengambil alih Taiwan mengemuka.
Dalam berbagai kesempatan, militer China telah melakukan provokasi di sekitar wilayah Taiwan, mulai dari latihan ringan hingga latihan besar-besaran dengan menembakkan sejumlah rudal di sekeliling Taiwan.
Amerika Serikat (AS) pun ikut ‘nimbrung’ dalam ketegangan tersebut yang meningkatkan skala konflik lebih luas lagi. Sikap AS yang cenderung membela Taiwan dikecam China yang kian memperuncing hubungan kedua negara.
Puncak ketegangan terjadi kala ketua DPR AS Nancy Pelosi nekat mengunjungi Taiwan di tengah ancaman keras Beijing.
Adapun, ketegangan tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi para produsen pembuat cip semikonduktor. Perlu diketahui, Taiwan adalah pusat produksi cip global.
Taiwan menghadapi situasi terjepit antara pasar ekspor terbesarnya, China, dan penyokong terbesarnya, Amerika Serikat (AS). Kondisi ini makin sulit saat Beijing memperkuat klaimnya bahwa Taiwan adalah bagian integral kedaulatannya.
“Konflik perdagangan AS-China dan eskalasi ketegangan lintas-selat telah membawa tantangan yang lebih serius bagi semua industri, termasuk industri semikonduktor,” ujar pimpinan TSMC, Mark Liu, dikutip dari Reuters.
Liu menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, China terus mempromosikan industri semikonduktor domestiknya. Di sisi lain, AS juga telah mengesahkan Undang-undang Semikonduktor untuk mendukung penelitian dan pengembangan dan manufaktur lokal.
Terkait hal itu, AS pun makin gencar meredam laju industri semikonduktor China. Dengan dalih melindungi perusahaan Amerika Serikat dan keamanan nasional, Presiden Joe Biden terus membatasi ruang gerak perusahaan semikonduktor yang terkait dengan China.
Biden menerapkan kebijakan ekspor semikonduktor ke China. Pada dasarnya kebijakan tersebut meregulasi transfer teknologi dari Amerika Serikat ke China. Selain itu, kemampuan China untuk memproduksi semikonduktor akan menurun.

Korut Vs Korsel-Jepang-AS
Korea Selatan makin menggila di bawah rezim Kim Jong Un. Latihan peluncuran rudal terus bereskalasi disertai ancaman perang nuklir.
Terbaru, Kepala Staf Gabungan (JCS) mengatakan, Pyongyang menembakkan sekitar 100 peluru ke laut di lepas pantai baratnya dan 150 peluru lagi di lepas pantai timurnya.
“Kami sangat mendesak Korut untuk segera menghentikan tindakannya,” kata JCS dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh Yonhap.
“Provokasi Korut yang terus berlanjut adalah tindakan yang merusak perdamaian dan stabilitas Semenanjung Korea dan komunitas internasional,” tambahnya.
Sebelumnya Korut sempat menembakkan rudal balistik jarak pendek ke laut lepas pantai timurnya pada Jumat lalu. Militer Korsel juga mendeteksi 10 pesawat militer Korut terbang dekat perbatasan yang memisahkan kedua negara.
Frekuensi peluncuran rudal Korut tahun ini, diyakini belum pernah terjadi sebelumnya . Hal itu menimbulkan kekhawatiran bahwa Negeri Pertapa mungkin bersiap untuk melanjutkan pengujian senjata nuklir untuk pertama kalinya sejak 2017.
Kegiatan militer terbaru Korut juga terjadi setelah pasukan Korsel memulai latihan pertahanan tahunan “Hoguk” pada Senin. Itu dirancang untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk menanggapi ancaman nuklir dan rudal negara tetangganya tersebut.
Latihan tersebut akan berakhir pada Sabtu mendatang. Ini adalah serangkaian latihan militer oleh Korsel terbaru dalam beberapa pekan terakhir, termasuk kegiatan bersama dengan Amerika Serikat (AS) dan Jepang.
AS Vs Arab Saudi
Amerika Serikat (AS) saat ini sedang berada di ambang resesi. Ini dimotori oleh naiknya harga energi yang akhirnya menyebabkan inflasi hingga di atas 8% di Negeri Paman Sam.
Dibalik krisis ini, rupanya Arab Saudi dan ‘kartelnya’, yakni OPEC+ memiliki andil. Pasalnya, di saat-saat krisis mereka justru mengumumkan pengurangan pasokan terbesarnya sejak 2020.
OPEC+ sepakat untuk mengurangi produksi minyak sebesar 2 juta barel per hari mulai November. Langkah ini dirancang untuk memacu pemulihan harga minyak mentah, yang telah turun menjadi sekitar US$ 80 per barel setelah sempat mencapai US$ 120 per barel pada awal Juni.
Pemerintahan Presiden Joe Biden menganggap keputusan tersebut “berpandangan sempit”. Hal itupun akan makin memperdalam kenaikan harga di dalam Negeri Super Power tersebut.
Ini pun berbuntut panjang dan mengancam hubungan AS dengan negara-negara OPEC+ lebih lanjut. Analis energi percaya momen ini akan menjadi ‘pintu masuk’ bagi AS untuk mencoba mengendalikan pengaruh OPEC+.
Kekecewaan AS terhadap sikap OPEC+ ini tidak datang secara tiba-tiba. Negeri Paman Sam telah berkali-kali meminta agar produksi minyak digenjot untuk mengatasi krisis energi dan menurunkan harganya di hilir.
Terbaru, dalam wawancara dengan CNN, Presiden AS Joe Biden menganggap respons Saudi ini merupakan bukti bahwa pihaknya perlu memikirkan kembali hubungan kedua negara. Pasalnya, di tengah ketegangan geopolitik antara AS dan Rusia, Saudi justru kompak dengan Moskow dan negara OPEC+ untuk memangkas produksi minyak.
“Saya sedang dalam proses, ketika DPR dan Senat kembali, mereka harus – akan ada beberapa konsekuensi atas apa yang telah mereka lakukan dengan Rusia,” kata Biden.
Arab Saudi sendiri menolak pernyataan yang mengkritik kerajaan. Dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi yang dikutip Reuters, keputusan OPEC+ dengan suara bulat itu diambil dengan mempertimbangkan keseimbangan pasokan dan permintaan yang ditujukan untuk membatasi volatilitas pasar.
“Kerajaan mengklarifikasi melalui konsultasi berkelanjutan dengan pemerintah AS bahwa semua analisis ekonomi menunjukkan, menunda keputusan OPEC+ selama sebulan, menurut apa yang telah disarankan, akan memiliki konsekuensi ekonomi negatif,” katan sumber pejabat Arab Saudi.
Sumber :
CNBC Indonesia